Friday, February 22, 2019

JANGAN MAU BERGABUNG DENGAN KELOMPOK PECINTA ALAM !!!

Jangan dibaca jika Anda tidak mampu berfikir dengan kepala dingin !!!


Bulan Desember sampai dengan Januari merupakan “musim” yang tepat bagi sebuah kelompok atau organisasi yang bergelut dibidang Pecinta Alam dan Lingkungan, baik itu ditingkat sekolah menengah, Universitas maupun umum untuk melakukan kegiatan tahunan nya. Baik itu Ekspedisi, Pendakian dan Diklatsar. Karena di akhir sampai dengan awal tahun tersebut tepat dengan kalender pendidikan di mana ada waktu Libur setelah Ulangan Akhir Semester. Selain itu, akhir tahun hingga awal tahun biasanya merupakan waktu dengan varian musim pancaroba, hujan dan panas tidak bisa diprediksi, sehingga memunculkan banyak tantangan dalam melakukan kegiatan di Alam terbuka.



Apa itu kelompok, klub, organisasi pecinta Alam dan Lingkungan? Ini adalah sebuah perkumpulan dengan aturan aturan tertentu, dimana hampir seluruh kegiatannya berorientasi pada kegiatan luar ruangan, bahasa kerennya “Outdoor Activity” yang secara spesifik diartikan sebagai pendakian gunung, pemanjatan tebing, penelusuran goa, penyusuran pantai, sea diving, eksplorasi dirgantara, konservasi lingkungan hidup maupun seluruh kegiatan yang masuk kategori petualangan yang berbasis Alam bebas. Selain itu, bagaimana konsep ber-organisasi juga dilatih dalam perkumpulan ini.
Penelusuran Gua
Bagaimana sejarah organisasi seperti ini? Di dunia barat tercatat sudah dimulai sejak awal abad 20 atau awal 1900-an. Sedangkan di Indonesia sendiri meledak pada era 1960. Masa keemasan nya di bumi pertiwi adalah pada tahun 1970 hingga 1999, dimana banyak aktivis berbondong bondong menggabungkan diri dalam sebuah kelompok Pecinta Alam dan Lingkungan dan berkarya dengan eksplorasi eksplorasi Ekslusif dan Spektakuler.

Kenapa diartikan sebagai Ekslusif dan Spektakuler ? Karena tidak semua manusia punya keberanian untuk bergabung dan menikmati kegiatan kelompok seperti ini. Gunung, Hutan, Tebing masih merupakan wilayah yang sulit dijangkau dan terkesan Un-toucheable alias tidak tersentuh.

Bagaimana dengan perkembangan kelompok ini di era 2010 – 2019-an? Bisa dikatakan mati suri, banyak alasan yang tidak bisa dibeberkan satu per satu. Mulai dari mitos sistem penerimaannya yang dikenal “keras” dan penuh “plonco”, hingga mudahnya akses orang untuk menjangkau wilayah Un-toucheable tadi tanpa harus bersusah payah bergabung dengan kelompok pecinta alam dan lingkungan.

Lalu kenapa kita TIDAK harus BERGABUNG dengan kelompok ini ?

Zaman ini, merupakan zaman Instant. Zaman dimana informasi bisa didapat dimana saja tanpa harus mengangkat pantat dari kursi empuk dirumah. Zaman dimana segala kesenangan bisa didapat hampir “tanpa harus mengeluarkan keringat”. Zaman dimana segalanya serba mudah, untuk menjangkau gunung, hutan, tebing, goa, laut kita hanya butuh sedikit waktu luang, uang, seberkas keberanian yang bisa saja muncul hanya dengan keinginan untuk pamer foto di media social.

Ke gunung, tebing, goa, laut ? Cukup dengan Mbah Google, informasi bisa didapat. Luangkan waktu dan siapkan uang, beli peralatan ternama dan kita bisa menjangkau wilayah petualangan yang kita mau. Ketika kita masih ragu dengan kemampuan atau skill petualangan kita, maka kita bisa menyewa guide atau instruktur berpengalaman untuk menemani perjalanan kita. Selanjutnya? Foto foto kita terpampang dengan jelas di media social, di like oleh ratusan hingga ribuan followers, kita puas.
Habis perkara...


Generasi 5CM
Zaman ini adalah zaman 5CM, di mana naik gunung tidak harus punya persiapan matang, baik fisik ataupun perbekalan. Cukup punya sedikit keberanian dan gengsi, takut di bilang “cemen” oleh teman satu Genk. Anda tidak usah punya keahlian apapun yang berkaitan dengan alam bebas. Yang penting punya uang dan berpenampilan modis dengan “gear” kelas atas. Tidak usah pedulikan masalah keamanan dan keselamatan. Kalau terjadi sesuatu di gunung, misalnya tersesat atau bahkan terjatuh ke jurang, kehilangan teman seperjalanan, kelelahan, dehidrasi, kelaparan karena kekurangan perbekalan, tenang saja.. Sedikit merepotkan Tim SAR oke oke saja, toh itu sudah menjadi tugas mereka..

Zaman ini, adalah zaman dimana sedikit goresan pada tubuh manusia menjadi berita besar. Kaki lecet, foto, dan kemudian terpampang di media social. Terkena panu, foto, lalu terpampang di media social. Zaman ini adalah zaman Guru di persekusi, di aniaya dan tidak berharga. Kuping merah dijewer guru, terpampang dimedia social, guru dipidanakan setelah sebelumnya dihakimi sampai berdarah darah oleh murid dan wali muridnya.

Ini adalah zaman individualistik, dimana kita bisa melakukan sesuatu yang sulit sendirian, tanpa harus melibatkan orang banyak.

Ini adalah zaman dimana gunung, tebing, hutan, goa dan dalamnya lautan bisa dieksplorasi dengan mudah hingga kegiatan manusia didalamnya kehilangan Ekslusifitasnya.

Apa yang akan kita dapatkan ketika BERGABUNG dengan Kelompok Pecinta Alam ?

Perjalanan yang panjang dan melelahkan, rawan terkena duri didalam hutan, rawan terkena luka lecet karena bebatuan saat latihan atau Diklatsar, rapat-rapat dan pertemuan yang menyita waktu dengan perdebatan yang panjang tiada akhir dengan banyak sekali orang, apalagi kalau sudah berhadapan dengan “senior” yang rewel dengan kelangsungan organisasi, yang sering menanyakan kabar “adik adik” nya, kapan ada kegiatan ? Apa yang bisa di bantu ? Sudah siapkah semuanya ? Jaga keselelamatan, pastikan semuanya sesuai dengan prosedur..!! Ribet kan...




Belum lagi setiap minggu harus tetap berlatih materi materi Kepecintaalaman, baik itu di ruangan maupun di alam terbuka. Latihan Survival lah, Navigasi Darat, Mounteneering, P3K, Konservasi dan lain lainnya. Dan yang bikin kesal lagi, kita harus mematuhi aturan aturan yang membosankan dalam organisasi.
Berlatih dan berlatih

Lalu, masihkah ada alasan kenapa kita harus tertarik pada kelompok atau organisasi seperti ini ?

Jawaban kuncinya, kita mulai dengan pertanyaan : Kenapa kelompok atau organisasi seperti ini, saat ini, masih berdiri dan masih ada manusia yang rela bergabung didalamnya ?

Pertama, ada banyak orang yang tak tahu tujuan, bergabung dengan kelompok atau organisasi Pecinta Alam dan Lingkungan, ketika sudah memasuki ‘rumah’ tersebut, dia kecewa dan merasa “tertipu”. Awalnya dia mengira kelompok atau organisasi seperti ini bertipe modern dan instant, bebas semau gue dan tidak banyak aturan seperti layaknya perkembangan zaman, namun ternyata sangat konservatif, ketinggalan zaman, ribet, rumit, bertele-tele, melelahkan. Dan akhirnya mereka mundur teratur, keluar dari "rumah" tersebut.

Kedua, dan ini yang harus digarisbawahi : Dari sekian banyak manusia instant zaman sekarang, masih ada tipikal manusia yang mencoba memahami proses untuk kemudian banyak memetik pelajaran dari proses itu sendiri dari pada mementingkan tujuannya. Tipikal orang seperti ini tergolong konservatif, kuno, karena memilih jalan sulit dibanding jalan mudah.

Mereka memilih berhadapan dengan situasi yag serba terbatas dalam Pendidikan dan Pelatihan Dasar (Diklatsar) alam bebas di sebuah organisasi dengan aturan baku, dibandingkan membayar instruktur berpengalaman untuk melatihnya secara instant.

Mereka memilih untuk merasakan dinginnya hujan, teriknya matahari, kerasnya bebatuan, berbahayanya perairan dibanding tertidur dikasur empuk, dengan ruangan ber-AC dan berselimut tebal.

Mereka memilih untuk berlatih, mempersiapkan fisik dan mental. Memilih memperdalam dan mengasah keahlian dalam bertahan hidup di alam bebas, mengasah keahlian dalam manajemen perjalanan, P3K, Mounteneering agar mereka siap jika suatu saat harus berhadapan dengan situasi tertentu ketimbang nanti harus merepotkan orang lain yang belum tetntu bisa tepat waktu dalam penanganan situasi tersebut.

Mereka memilih belajar konservasi lingkungan dibanding dengan mudahnya menyerahkan tanggungjawab pada Petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) untuk memelihara lingkungan hidup yang lebih seimbang.

Mereka memilih proses pembelajaran berkelompok dengan manusia manusia sosial dibanding bergelut dengan sosial media untuk kemudian membuka mesin pencari instant dan pergi ke suatu tempat hanya untuk selfie.

Mereka memilih sharing ilmu dengan orang-orang berpengalaman dalam organisasi yang terkesan banyak aturan, rewel, dingin, tanpa senyum dan pelit ilmu dibandingkan dengan instruktur kegiatan petualangan “bayaran” yang penuh kesabaran dan senyuman untuk berbagi.

Mereka lebih memilih melewati proses rapat-rapat yang banyak menghabiskan waktu berargumentasi dengan banyak orang dibanding diam dan senyum-senyum sendiri didepan layar monitor atau gadget androidnya tanpa harus mengeluarkan urat mempertahankan argumennya.

Mereka memilih tertawa bersama dalam balutan api unggun yang susah payah dibuat dibanding tertawa puas sendirian karena telah memampangkan foto selfie dirinya maupun kelompok kecilnya dalam sosial media.



Mereka memilih untuk terbiasa mengoptimalkan “gear” sederhananya, meminjamkan baju hangatnya ketika kedinginan kepada orang lain dibandingkan melakukan perjalanan dengan fasilitas lengkap dan “gear nomor wahid tetapi individualistik..

Mereka lebih memilih terbiasa “Berkeluarga” dibandingkan Individual.
Mereka Percaya, bahwa Kebersamaan adalah Kekuatan Seutuhnya..


Mereka memilih untuk membiasakan diri mengambil jalan sulit untuk menikmati dan menjaga keindahan melalui keseimbangan alam dan Lingkungan.

Mereka memilih mengambil jalan berbelit dari pada “shortcut” alias jalan pintas.

Mereka adalah orang-orang kuno, sombong, konservatif.

Namun percayalah, bahwa proses lebih harus diperhatikan dibanding hasil, langkah harus lebih difokuskan dibanding tujuan, berjama’ah lebih baik dibanding (munfaridz) sendiri-sendiri, terbiasa hidup dalam aturan dan disiplin lebih baik dibanding hidup santai dan membiarkan waktu menggilas.

Sifat kuno seperti ini tidak menjamin selalu sukses dalam semua bidang kehidupan. Tapi paling tidak, kita akan dibiasakan pada bagaimana mengambil keputusan dalam kondisi sesulit apapun, jujur pada diri sendiri dan orang lain dalam keadaan apapun, dan yang terpenting, sensitif/peka pada lingkungan sekitar.

Jadi, sekali lagi, di Zaman mudah seperti ini, jangan mau bergabung dalam kelompok atau organisasi pecinta Alam.


Ini bukan tentang siapa dan apa yang akan menjadi lebih baik, ini tentang pilihan, langkah, dan optimalisasi hidup.

Push yourself to the Limit.

At least.. We Are Slowly Walker, But We’ll Never Walk Back.


2 comments:

Support by :

Popular Posts